Friday, July 6, 2007

Night Trip on Macasar


Perjalanan dari Denpasar ke Makassar hanya memakan waktu satu jam sepuluh menit dengan penerbagangan udara. Alhamdulillah, selama di perjalanan, langit sangat bersahabat. Sehingga usahaku agar bisa duduk di dekat window tidak percuma.

Dari jendela pesawat, aku melihat cantiknya gunung Rinjani dan lekuk-lekuk pantai Pulau Lombok yang tersohor. Juga aku sempat melihat kesebelah kiri, puncak Gunung agung yang dijejeri cadas kering berbatu. Sungguh tak salah kalau Orang Bali mengeramatkan Gunung ini.
Dibalik Pulau Lombok, aku masih bisa melihat jejeran pulau-pulau yang perkiraanku adalah pulau Sumbawa yang tak kalah cantiknya. Selaput kabut tipis tampak membayangi jejeran kepulauan Nusa Tenggara tersebut.

Setelah melewati Selat Karimata, dari jauh aku bis m elihat daratan Sulawesi, tepatnya di ujung Selatan Pulau Sulawesi. Tak lama, hutan beton dan pemukiman penduduk yang padat menyamut kami, itulah kota Makassar, kota Para Daeng.

Waktu itu adalah kali kedua aku menjejakkan kaki di Bumi Karebosi ini. Kali pertama pada saat dinas ke Manado, aku transit di Makassar. Tapi inilah pertama kali aku berkesempatan melanglang buana didalam kota Makassar. Sebenarnya kali ini tema kunjungan ku ke Denpasar adalah untuk kursus ..yah, dinas gitu dehh.Tapi sekalianaja kesempatan ini aku gunakan untuk melahap habis sudut-sudut kota ini.

Setelah selesai urusan dinas, aku segera menghubungi sahabat sekaligus abang ku yang kebetulan lagi pulang kampung ke Makassar. Sudah satu tahun kita tidak bertemu berhubung daeng ini harus menuntaskan program beasiswa S2nya di Aachen, Jerman.

Bersama Daeng aku menyusuri lorong-lorong kota Makassar. Mulai dari sisi terang sampai sisi gelap.

Titik pertama yang aku kunjungi adalah mal terbesar di Indonesia Bagian Timur, Mall Panakkukang. Mall ini memang besar, tapi kalau boleh jujur, dari tampilan luar sama sekali tidak menarik bagiku. Sama sekali tidak ada taman atau sesuatu yang mengenakkan mata di pelataran mall tersebut. Hanya lahan parkir luas dan gersang.

Segera beralih dari Mall, kami segera menyusuri jalanan besar di kota Makasar. Kota Makassar begitu cantik di malam hari. Melewati lapangan Karebosi, lalu melongok gedung-gedung tua peninggalan Belanda yang masih tersisa. Cukup disayangkan banyak diantara gedung tua itu yang sudah beralih fungsi. Lebih tragis lagi…beralih bentuk sehingga tidak terlihat lagi sisa kekayaan sejarahnya.

Berbeda dengan kota Denpasar yang jalanannya kecil dan berbelok-belok, jalanan kota Makassar lebih lebar dan luas. Maklum saja, karena kota ini adalah kota terbesar di Kawasan Timur Indonesia.

Kemudian kami kedaerah Tanjung Bunga yang menurut daeng sebuah prestasi bagi Makassar. Tapi bagi saya, ini bencana ekologi.

Entahlah, saya sama sekali tidak setuju dengan istilah pengurukan atau pengalih fungsian lahan hijau untuk alasan komersial semata. Tapi itulah manusia, berbeda cara pandanganya. Memang kawasan tanjung bunga ditata menjadi kawasan terpadu, hunian bisnis dan leisure. Dari sini kita melihat gemerlapnya pantai losari.

Dari Tanjung Bunga, motor Honda Supra kami arahkan kea rah Pantai Losari yang sudah saya kunjungi sebelumnya.

Yang saya sangat kagumi dari pantai ini adalah pemandangan Sun Set nya yang cantik, apalagi ketika matahari terbenam dibalik siluet pulau kecil di depannya. Airnya juga tenang serta lapangan plaza di sekitar pantai cukup luas. Sebenarnya lebih cocok kalau disebut dermaga losari, karena sama sekali tidak ada pasirnya disini. Tapi tetap tidak mengurangi kecantikan Losari.

Dari pantai Losari kami meneruskan perjalanan ke arah Pelabuhan Soekarno Hatta. Tidak ada yang special, hanya saja di sekitar pelabuhan banyak terdapat tempat makan dan disisi timur terdapat sebuah benteng Belanda yang terkenal, Port Rotterdam. Kami tak sempat singgah disana, karena hari sudah malam. Kami meneruskan menyusuri pinggiran pelabuhan, sampai di red light street nya kota Makassar. Orang makassar menyebutnya jalan Vagina Raya..hahahah!!!. Karena disini “katanya” pusat bisnis esek-esek di Kota Makassar. Tak lama disana, kami meneruskan perjalan kearah Timur, arah luar kota Makassar.

Langit kota Makassar sangat indah waktu itu. Bintang-bintang bertaburan menghiasi pekatnya malam. Kemudian Daeng mengajak saya melihat Mesjid Raya Makasar yang berarsitektur campuran Turki Byzantium dan Bugis. Cantik sekali. Dari masjid raya, aku diajak melihat Maskar Al Islamy yang terkenal itu. Subhanallah, cantik sekali diwaktu malam, apalgi ditimpa sinar bulan. Tiang-tiang tinggi bergaya Turki dan kubah Limas tampak megah berdiri. Hanya sayang, taman di sekitar Masjid megah ini tampak tidak terawat.

Dari Maskar Al Islamy aku diajak mengelilingi Kampus Universitas Hasanuddin, tempat sahabat ku Daeng Abbas ini menyelesaikan S1 elektronya. Kampusnya cukup apik dan rindang, tapi aku tidak bisa memastikan karena saat itu kami bekeliling Kampus UNHAS pada waktu malam (hihihi..syeremm juga sih)

Dari Kampus UNHAS akhirnya perjalanan di Makassar dimalam hari harus berakhir. Aku kemudiann diajak menginap di rumah keluarga Daeng Abbas. Bertemu dan kenalan dengan Nyonya dan sikecil Nayla.

Keesokan harinya, aku dan rekan kerja harus kembali bertolak ke Denpasar. Sebelum ke Bandara, kami sempat beli souvenir di Pasar Somba Opu. Aku sempat beli kacang Mete Disko, ukiran Toraja, dan sehelai kain sutra Bugis untuk Bunda tercinta di Padang.

Selamat tinggal Makassar, pasti akan kuingat selalu. Losari yang selalu berseri dengan langit jingga dikala senja.