Friday, December 21, 2007

Urgensi Museum Budaya Pariaman, Keunikan Minangkabau Pesisir

Oi di Piaman tadanga langang

Alah batabuik mangko ka rami

Saat ini hampir tidak terdengar kabar apapun dari kota Pariaman, kota kecil di Pesisir Barat Sumatera Barat. Kota ini juga hanya jadi lokasi persinggahan sementara atau kota hanya lewat. Hampir tidak ada hal khusus yang bisa didapatkan di kota ini.

Kondisi ini tentu jauh berbeda pada masa Abad ke 15 dan 16, sebelum Belanda mencengkramkan kuku di Indonesia dan mendirikan Bandar Padang di Kota Padang saat ini.

Pada saat itu, Pariaman bisa dikatakan sebagai metropolisnya pantai Barat Sumatera. Kota ini merupakan Bandar perdagangan tersibuk di Pantao Barat Sumatera. Kota ini merupakan pertemuan antara saudagar-saudagar Aceh, Arab, Gujarat, Parsi dan Turki dengan Petani-petani dari Minangkabau dari daerah darek.

Pariaman adalah pintu gerbang memasuki alam Minangkabau yang pada waktiu berpusat di Pagaruyung, Tanah Datar. Kota ini juga menjadi simbol pembauran antar berbagai etnis dan pusat penyebaran Islam di Sumatera Brat pada fase pertama.

Akibat pembauran tersebut, Pariaman menjadi kaya akan khasanah budaya dan tradisi yang unik dan tidak dijumpai ditempat lain di Sumatera Barat. Sebut saja makanan, tarian, rumah adapt, bahkan sistem pemberian gelar yang berbeda dengan sistem di daerah Minangkabau lainnya.

Kesenian Tabuik yang menjadi ikon Pariaman juga menguatkan betapa daerah ini sangat permisif terhadap masuknya berbagai kebudayaan baru dan juga ramah terhadap pendatang, meski tidak menlunturkan identitas dan local genius dari masyarakat Minangkabau Pariaman yang disebut juga Minangkabau Pasisia.

Kejayaan Pariaman sebagai kota Bandar perdagangan meredup seiring pembangunan Bandar Padang oleh Belanda pada awal abad ke 17. Laut yang dangkal menyebabkan kapal-kapal besar tidak bisa merapat ke Pariaman. Sehingga pada saudagar lebih memilih melabuhkan kapalnya di Pelabuhan Muaro di Kota Padang.

Kondisi ini terus meredup sampai saat ini. Kota Pariaman yang dulunya menjadi tempat perantauan, kini malah ditinggalkan oleh penduduknya yang merantu ke Padang dan kenegeri-negeri jauh di seantero Nusantara. Oleh karena itu masyarakat Piaman dikenal sebagai masyarakat perantau yang tanguh yang berhasil di berbagai tempat di Indonesia.

Akan tetapi apakah nasib Pariaman hanya sampai disitu, apakah tidak ada lagi yang bisa digali di Pariaman.

Sebenarnya Pariaman tidak hanya dikarunia kebudayaan yang beragam dan kaya saja, tapi juga dikarunia jejeran pantai-pantai berpasir putih ke abu-abuan yang membentang sepanjang dan sejauh mata memandang. Pemadangan laut yang biru semakin dipercantik dengan jejeran pula-pulau mungil nan cantik. Apakah kekayaan alam dan budaya ini tidak ukup untuk mengangkat pamor Pariaman lagi?

Beranjak dari kondisi tersebut, sudah saatnya Pariaman bergerak mengukuhkan identtas budayanya. Pariaman sudah saatnya memiliki sebuah museum atau pusat budaya yang dapat menginventarisir kebudayaan Pariaman. Museum ini juga bisa menajdi pusat informasi kebudayaan dan pariwisata Pariaman yang kahs dan unik.

Museum adalah gudang penyimoanan dan penjaga peradaban bangsa. Sangatlah disayangakn kebudayaan Pariaman yang kaya hilang tergerus zaman, karena ketiadaan Museum tersebut. Jangan sampai anak cucu keturunan Pariaman melihat Tabuik, mempelajari prosesi adat perkawinn Pariaman harus jauh-jauh ke Jakarta atau bahkan ke Malaysia karena di tanah leluhurnya sendiri sudah tidak ada lagi yang tersisa.

Bali, sebagai provinsi dan primadona pariwisata menyadai hal ini. Setiap kabupaten dan Kota di Bali memiliki museum kebudayan sebgai pusat informasi seni budaya dan pariwisata. Dan Museum ini menjadi daftar kunjungan wajib para wisatawan minat khusus yang datang ke daerah ini.

Memang tidak bijak juga membebankan semua tangungjawab ini ke pundak Pemerintah Daerah, perlu uluran tangan bersama pihak tekait untuk mewujudkan hal ini. Para perantau Pariaman yang suskses, putra-putri yang terdidik dan tak ketingalan potnsi masyarakat pariaman sendiri tentu dapat bahu membahu mewujudkan hal ini.

Beberapa paguyuban keluaga Pariaman, seperti Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP) atau lains ebgaina dapat bersatu mewujudkanmimpi ini. Dan tentu saja pemerintah selaku regulator dan pemegang policy sangat berperan penting dalam men’drive’ mimpi ini. Sehingga masyarkat pariaman dapat kembali “Mambangkik Batang Tarandam”, mengulang masa keemasan kota ini yang dulunya sebagai bandar pertemuan saudagar seluruh dunia, kini menjadi bandar pertemuan wisatawan seluuh dunia. (Bot Sosani Piliang)



Marine Echo Tourism yang Berbasis Kerakyatan Demi Kelestarian Kawasan Mandeh



Dari sekian banyak potensi wisata di Sumatera Barat, kawasan Carocok Mandeh atau disebut juga kawasan Danau Air Asin menempati posisi istimewa mengingat keunikannya dan membedakannya dengan kawasan serupa di Sumatea atau Jawa.

Bagi para penggila wisata, Sumatra lebih dikenal dengan hutan tropis dan pegunungannya yang eksotik. Kecuali Mentawai dan Nias, hampir tidak ada wisatawan yang menempatkan Sumatera sebagai destinasi wisata pantai dan bahari.

Hal ini dikarenakan potensi pantai di Sumatera yang memang secara umum tidak sebagus pantai dan laut dio bagian timur Indonesia. Akan tetapi, kawasan wisata Carocok Mandeh telah menjawab itu semua. Jika anda berkunjung dan berselancar di situs-situs yang memuat foto-foto pulau eksotikm yang bertebaran di kawasan terseut, tidak ada yang percaya kalau pantai berpasi putih dan laut sejernih kristal itu berada di Pulau Sumatera, tepatnya di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat.

Secara geologis, kawasan Mandeh merupakan bekas kawah Gunung Api purba yang umurnya jauh lebih tua dari letusan Gunung Toba. Hasil proses alam ini menjadikan kawasan Mandeh ibarat danau yang terjebak di lautan.Sebuah laguna raksana yang dikelilingi pulau-pulau dengan bukit-bukit kecil. Hasilnya, perpaduan yag sangat cantik antara hijau dan lebatnya pepohonan khas hutan tropis Sumatra, pepohonan kelapa, pasir putih keemasan dan laut yang jernih sebening kristal. Laguna inipun kaya akan bergai flora dan fauna laut, terumbu karang nan elok dan kekayaan taman laut nan cantik. Betul-betul sebuah sisi lain dari Surga AlamMinangkabau yang elok.

Sejak pertengahan era 90an, beberapa resort sederhana dan mewah didirikan disana. Paling tidak, sampai saat ini Dua pulau, yakni Pulau Sikuai dan Pulau Cibadak sudah berdiri beberapa resort dan cottage yang namanya sudah melanglang buana dan menjadi buah bibir para penggila travel dan berbagai forum wisata petualang.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat kemudian menjadikan kawasan Mandeh sebagai kawasan wisata terpadu yang diproyeksikan sebagai primadona wisata di bagian barat Indonesia.

Namun, dari beberapa tulisan para pelancong yang pernah menyingahi surga marina ranah minang ini, kawasan Mandeh sekarang tidak persis secantik yang pernah santer terdengar. Khususnya pesona bawah laut yang konon kabarnya cantik dan indah kini tak lebih dari onggokan terumubu karang yang mati. Meskipun masih banyak dijumpai ikan-ikan cantik berseliweran, namun warna-warni terumbu karnag yang pernah menghiasi kawasan mandeh sudah jarang dijumpai.

Secara awam, sangat mudah mencari siapa pelaku pengrusakan ini. Kekayaan lautan Mandeh yang tersohor dengan ikannya yang banyak membuat beberapa oknum serakah menggunakan bom untuk mendapat ikan sehingga menghancurkan terumbu karang yang ada. Kondisi ini diperparah dengan eksploitasi dan pengambilan terumbu karang untuk dijual di beberapa lokasi wisata di kota Padang, seperti di Pantai Air Manis dan Pantai Padang oleh masyarakat lokal.

Kondisi yang berlangsung cukup lama ini, akhirnya nyaris merenggut kecantikan salah satu potensi wisata Marina di Sumatera Barat. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin nasib Taman Laut Kawasan Mandeh dan pulau-pulau eksotik disekitar nya tinggal sejarah. Perlu langkah-langkah dan tindakan nyata untuk menyelamatkan dan melestarikan kecantikan surga bahari ini.

Sebenarnya potensi wisata Kawasan Mandeh tidka hanya pada pantai-pantainya, tapi juga hutan tropis di sekitar perbukitan, hutan mangrove, terumbu karang dan tentu saja pulau-pulau eksotik yang bertebaran disekitar laguna Mandeh.

Masyarakat yang hanya menjadi penonton bisnis pariwisata di kawasan ini menyebabkan mereka mencoba mengais sisa-sisa rupiah yang mengalir dari bisnis pariwisata yanga ada, seperti menangkap ikan-ikan dalam jumlah besar, pengambilan terumbu karang dan pembabatan hutan mangrove dan hutan tropis basah disekitar kawasan ini.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Daerah Setempat (Padang dan Pesisi Selatan) dapat berbuat banyak. Diantara dengan menetapkan kawasan ini sebagai kawasan konservasi bahari,. Artinya, melarang aktivitas eksplorasi dalam jumlah besar di kawasan ini. Menjadi kawasan ini sebagai kawasan terlarang untuk penangkapan ikan dalam jumlah besar, mengajak dan mengedukasi masyarakat disekitar untuk tidak mengambil terumbu karang dan bersama-sama engan pemuka masyarakt setempat untuk menjag ahutan mangrove dan hutan tropis dikawasan tersebut.

Masyarakat sekitar harus diberdayakan dengan mengajak mereka ikut serta menjaga satu lagi anugrah kecantikan alam di Sumatera Barat ini.

Pengusaha resort di kawasna ini juga harus berpartisipasi dalam menjaga alam Carocok Mandeh. Mereka harus jug aberparisipasi meningkatkan taraf perekonomian masayrakat sektiar dengan erbagai saluran dan cara.

Upaya rehabilitasi terumbu karang juga harus segera dilakukan, seperti penanaman dterumbu karang. Cara ini sudah berhasil dilakukan masyarakt Singaraja Bali, yang merehabilitasi terumbu karang yang menjadikan kawasan itu sebagai produsen ikan hias ke seluruh dunia.

Keikutsertaan seluruh komponen masyarakat tentu akan mengembalikan kecantikan kawasan mandeh, baik pantai maupun taman lautnya, sehingga mampu bersaing dengan destinasi bahari lainnya di Indonesia dan dunia.

Disamping sebagai kawasan wisata, kawasan mandeh juga memiliki potensi untuk lokasi peternakan ikan hias laut, karena airnya yang jernih dan tenang serta kaya akan makanan menyebabkan ikan dapat berkembang dengan baik. Tinggal bagaimana mengajak masyarakat lokal disekitar kawasan ini untuk menyadari bahwa alam yang mereka miliki adalah surga yang harus dijaga bersama dan dengan upaya bersama.


Thursday, December 6, 2007

MENGHADAPI TSUNAMI, Bersahabat atau Menantang Alam???


Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah postingan di mailing list aktivis minang tentang wacana pembangunan tembok penghalang Tsunami di sepanjang Pesisir Sumatera Barat, terutama di Kota Padang yang memang sangat rawan akan Tsunami.


Ide ini mungkin mengadopsi system pengamanan yang dilakukan Jepang di beberapa kota yang rawan Tsunami di negeri matahari terbit tersebut. Penduduk tidak terlalu memusingkan bencana Tsunami yang mungkin meluluhlantakkan kota karena sudah di lindungi oleh tembok setebal 20 meter dan setinggi 20 mneter. Masuk akal juga, mengingat dengan ketebalan setinggi itu bisa mengurangi dampak destruktif dari Tsunami.

Saya juga membayangkan kalau nantinya di sepanjang Pantai Padang, Purus, parupuk, sampai ke Tiku Pariaman akan dibangun tembok tersebut tentu akan bagus juga, diatasnya dbuat jalan dan kita bisa memandang laut lepas tanpa harus takut terlibas Tsunami yang dapat datang sewaktu-waktu.

Akan tetapi masih dalam bayangan saya tersebut, ketika saya menukikkan mata ke bawah, saya jadi bertanya-tanya, bagaimana nasib nelayan tradisional yang bisanya melabuhkan perahunya di pantai tersebut. Tentu pantai-pantai yang indah yang bertebaran di sepanjang peisisir sumatera barat tidak akan sama lagi bentuknya, karena ada dinding setebal 20 meter dan setingi 20 meter yang menghalangi mat amemandang keelokan sun set di pantai-pantai tersebut.


Akhirnya saya mengulang lagi setting visi di benak saya tentang system pengamanan Tsunami di Kota PAdang yang sangat saya cintai.

Saya teringat sebuah kata-kata yang saya dapat dari seorang pelukis dan seniman Bali yang kebetulan rekan kerja saya di kantor sekaligus guru saya, untuk menaklukkan alam bukanlah dengan melawanya tapi jadikan alam itu sabahat anda, maka alam akan memberikan semua keindahan dan menfaatnya pada anda.

Membangun tembok , meninggikan tanggul, adalah langkah-langkah yang menurut saya adalah langkah melawan fitrah alam. Padahal Allah SWT telah menciptakan keselarasan maha sempurna dari alam yang ini. Apalagi Sumatera Barat yang dikaruniai bentang alam yang maha indah dan beragam. Mengapa kita tidak mengunakan dan menyelaraskan pola hidup kita dengan alam.

Beranjak dari prinsip ini, saya mencoba mereka-reka apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi bencana Tsunami yang dapat menyapu peradaban masyarkaat Kota Padang.

  1. Relokasi kota.

Langkah pertama adalah merelokasi kota dengan mengurangi kepadatan pnduduk di pinggir kota. Caranya adalah dengan memindahkan pusat aktifitas kota jauh dari pantai atau lokasi-lokasi yang rawan bencana. Hampir 80 persen aktifitas kota padang berada di pinggir pantai. Padahal daerah yang lebih aman dan luas masih banyak terdapat di kawan timur, seperti sekitar By Pass Baru, Air Pacah dan sebagainya. Pemerointah Kota mungkin dapat mendrive pemindahan pusat aktifitas warga ke daerah ini sehinga dengan sendirinya masyarakat tidak lagi kukuh untuk berada di pinggir pantai.

  1. Kembalikan fungsi alami pantai.

Pantai-pantai di pesisir barat sumatera Barat, khusunya pantai Padang dan pantai Pariaman , Painan, telah beralih fungsi menjadi pantai kota yang dijejali bangunan dan jalan-jalan. Vegetasi alami yang biasanya menhiasi bibir pantai lenyap diganti lapak-lapak dan coran semen. Sehingga, ketika ombak atau air laut pasang, tidak ada satupun benteng yang melindungi. Untuk itu, perlu dilakukan pembangunan sabutk hijau terutama di lokaso-lokasi yang padat penduduk seperti pantai Padang, Ulak Karang, parupuk dan sebagainya. Kalau perlu 500 meter dari bibir pantai dijadikan kawasan steril dari bangunan, jalur hijau, dan harus tetap hijau. Agar vegertasi alami pantai kembali tumbuh dan melinduni kota dari abrasi terjangan air laut.

Beberapa penelitian sudah membuktikan bahwa vegetasi hijau di pantai, seperti hutan bakau, kelapa, nipah bisa melindungi daratan dari abrasi dan meredam energi hempasan Tsunami. Sehingga, kalaupun terjadi Tsunami dn merendam kota, yang ada hanya air genangan yang tidak membahayakan lagi.

  1. Sadarkan masayarakat akan kondisi daerah temapat tinggal dan hidup. Tak banyak maayrakat di Kota Padang yang paham akan kondisi geologis Sumatera Barat yang berada antara Lipatan dan Patahan (cesar) yang rawan akan bencana alam.. Sehingga mereka cenderung tidak antisipatif dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek alam dalam pembangunan dan kegiatan. Saya rasa sudah saatnya masayrakat kota Padang untuk bersama-sama menyadari hal tersebut.

Pepatah Prancis mengatakan. ”BEAUTY is PAIN”, Cantik itu sakit, ternyata berlaku untuk kota Padang dan Sumatera Barat. Tinggal di kota dengan lanskap yang cantik memang butuh pengorbanan, dan paling tidak pengorbanan itu adalah dengan mengurangi keserakahan kita untuk mengeksplorasi alam dan siaga terhadap segala bencana yang mungkin menghadang dan datang tanpa diduga.

Akhirnya, apakah kita akan congkak dan menantang alam dengan membangun benteng dan dinding pemisah yang akan emisahkan kita dengan lautan yang sakti dan bertuah, atau justru kita kembalikan kearifan dan keselarasan alam yang pernah kite renggut dengan alasan ekonomi atau apapaun itu? Semua terpulang kembali kepada pilihan kita. Dan mungkin inilah salah satu isyarat prinsip ”Alam Takambang jadi Guru” yang di tuturkan turun temurun oleh Bundo Kanduang dan Mamak-mamak kita dari awal munculnya kebudayaan Minangkabau di Pariangan Padang Panjang ribuan tahun lalu.

Denpasar, 6 Desember 2007