Oi di Piaman tadanga langang
Alah batabuik mangko ka rami
Saat ini hampir tidak terdengar kabar apapun dari kota Pariaman, kota kecil di Pesisir Barat Sumatera Barat. Kota ini juga hanya jadi lokasi persinggahan sementara atau kota hanya lewat. Hampir tidak ada hal khusus yang bisa didapatkan di kota ini.
Kondisi ini tentu jauh berbeda pada masa Abad ke 15 dan 16, sebelum Belanda mencengkramkan kuku di Indonesia dan mendirikan Bandar Padang di Kota Padang saat ini.
Pada saat itu, Pariaman bisa dikatakan sebagai metropolisnya pantai Barat Sumatera. Kota ini merupakan Bandar perdagangan tersibuk di Pantao Barat Sumatera. Kota ini merupakan pertemuan antara saudagar-saudagar Aceh, Arab, Gujarat, Parsi dan Turki dengan Petani-petani dari Minangkabau dari daerah darek.
Pariaman adalah pintu gerbang memasuki alam Minangkabau yang pada waktiu berpusat di Pagaruyung, Tanah Datar.
Akibat pembauran tersebut, Pariaman menjadi kaya akan khasanah budaya dan tradisi yang unik dan tidak dijumpai ditempat lain di Sumatera Barat. Sebut saja makanan, tarian, rumah adapt, bahkan sistem pemberian gelar yang berbeda dengan sistem di daerah Minangkabau lainnya.
Kesenian Tabuik yang menjadi ikon Pariaman juga menguatkan betapa daerah ini sangat permisif terhadap masuknya berbagai kebudayaan baru dan juga ramah terhadap pendatang, meski tidak menlunturkan identitas dan local genius dari masyarakat Minangkabau Pariaman yang disebut juga Minangkabau Pasisia.
Kejayaan Pariaman sebagai
Kondisi ini terus meredup sampai saat ini. Kota Pariaman yang dulunya menjadi tempat perantauan, kini malah ditinggalkan oleh penduduknya yang merantu ke Padang dan kenegeri-negeri jauh di seantero Nusantara. Oleh karena itu masyarakat Piaman dikenal sebagai masyarakat perantau yang tanguh yang berhasil di berbagai tempat di Indonesia.
Akan tetapi apakah nasib Pariaman hanya sampai disitu, apakah tidak ada lagi yang bisa digali di Pariaman.
Sebenarnya Pariaman tidak hanya dikarunia kebudayaan yang beragam dan kaya saja, tapi juga dikarunia jejeran pantai-pantai berpasir putih ke abu-abuan yang membentang sepanjang dan sejauh mata memandang. Pemadangan laut yang biru semakin dipercantik dengan jejeran pula-pulau mungil nan cantik. Apakah kekayaan alam dan budaya ini tidak ukup untuk mengangkat pamor Pariaman lagi?
Beranjak dari kondisi tersebut, sudah saatnya Pariaman bergerak mengukuhkan identtas budayanya. Pariaman sudah saatnya memiliki sebuah museum atau pusat budaya yang dapat menginventarisir kebudayaan Pariaman. Museum ini juga bisa menajdi pusat informasi kebudayaan dan pariwisata Pariaman yang kahs dan unik.
Museum adalah gudang penyimoanan dan penjaga peradaban bangsa. Sangatlah disayangakn kebudayaan Pariaman yang kaya hilang tergerus zaman, karena ketiadaan Museum tersebut. Jangan sampai anak cucu keturunan Pariaman melihat Tabuik, mempelajari prosesi adat perkawinn Pariaman harus jauh-jauh ke Jakarta atau bahkan ke Malaysia karena di tanah leluhurnya sendiri sudah tidak ada lagi yang tersisa.
Bali, sebagai provinsi dan primadona pariwisata menyadai hal ini. Setiap kabupaten dan Kota di Bali memiliki museum kebudayan sebgai pusat informasi seni budaya dan pariwisata. Dan Museum ini menjadi daftar kunjungan wajib para wisatawan minat khusus yang datang ke daerah ini.
Memang tidak bijak juga membebankan semua tangungjawab ini ke pundak Pemerintah Daerah, perlu uluran tangan bersama pihak tekait untuk mewujudkan hal ini. Para perantau Pariaman yang suskses, putra-putri yang terdidik dan tak ketingalan potnsi masyarakat pariaman sendiri tentu dapat bahu membahu mewujudkan hal ini.
Beberapa paguyuban keluaga Pariaman, seperti Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP) atau lains ebgaina dapat bersatu mewujudkanmimpi ini. Dan tentu saja pemerintah selaku regulator dan pemegang policy sangat berperan penting dalam men’drive’ mimpi ini. Sehingga masyarkat pariaman dapat kembali “Mambangkik Batang Tarandam”, mengulang masa keemasan kota ini yang dulunya sebagai bandar pertemuan saudagar seluruh dunia, kini menjadi bandar pertemuan wisatawan seluuh dunia. (Bot Sosani Piliang)