Thursday, April 3, 2008

Top five Beaches in West Sumatera

Sumatera Barat identik dengan pegunungan dan air terjun. Tak banyak yang tahu di Provinsi ini terdapat puluhan panai beraneka bentuk dan keunikan yang siap menanti kedatangan wisatawan di Ranah Minang. Berikut adalah 5 Pantai terbaik menurut versi saya sendiri. Standar ukurannya adalah keunikan, keindahan, akses, dan fasilitas yang tersedia. Semoga bisa menjadi referensi liburan anda bila berkunjung ke Sumatera Barat.

  1. Pantai Cermin Pariaman. Pantai ini begitu mudah dijangkau dengan berbagai moda trasportasi dari Kota Padang maupun dari kota pariaman sendiri. Dengan kereta Api, bus maupun dengan Bendi (kendaraan tradisional Minangkabau). Pasir nya lembut berwarna putih ke abu-abuan, terhampar luas dengan ombak yang tidak begitu besar sehingga pantai ini cocok untuk berenang dan olah raga air lainnya. Jejeran pohon pinus dan jogging track tersedia bagi yang ingin jalan-jalan menikmati angin pantai atau sekedar menikmati suara ombak bersama sang kekasih. Kelebihan pantai ini adalah pada saat sunset, dimana matahari tenggelam di ufuk barat, tepat dibelakang Pulau Kasiak yang berjarak hanya 2 KM dari bibir pantai.
  2. Pantai Ulak Karang. Berada tepat dijantung kota Padang, dengan pantai yang luas dan berpasir lembut menjadikan Pantai Ulak Karang menduduki posisi kedua dalam top 5 beach di Sumatera Barat. Akses yang mudah, fasilitas olah raga air yang lengkap serta aneka kuliner yang bisa didapat dengan mudah di sekitar pantai melengkapi keindahan pantai Ulak Karang. Masih disebelah pantai Ulak Karang terdapat Danau Cimpago yang potensial untuk olah raga air seperti kayak atau kano. Juga dedekat pantai ini terdapat Muara Sungai Banda Bakali yang berair bersih yang cocok untuk olah raga pacu sampan.
  3. Pantai Padang. Easy to reach, easy to see and easy to see and easy to enjoy, tiga hal ini menempatkan pantai Padang pada posisi ketiga di jajaran pantai-pantai tercantik di Ranah Minang. Meskipun pantainya tidak terlalu luas namun pesona pantia padang sebenarnya terletak pada kemudahan akses dan beragam pilihan hiburan yang ada di sana. Dari pantai ini juga relatif dekat ke objek wisata lainny ayang bisa ditempuh dengan jalan kaki, yaitu Kota Tua, Jembtan Siti Nurbaya dan Gunung Padang. Suara ombak yang pecak di batu, angin dan aneka jajanan yang tersdia di sepanjang pantai memanjakan pengunjung yang ingin menikmati indahnya langit pada saat matahri terbenam di pantai ini.
  4. Pantai Air Manis. Legenda Batu Malin Kundang satu diantara kelebihan yang ditawarkan Pantai berpasir coklat ini. Pantai dengan butiran pasir coklat yang landai dan terhampar luas dintara celah bukit serta legenda Anak Durhaka yang dikutuk sang ibu menjadi Batu bisa anda saksikan disini. Bukan hanya itu, dalam perjalanan menuju pantai, anda akan disuguhi rimbunnya hutan dan udara yang sejuk serta tinkah polah monyet yang kadang-kadang muncul menggoda pengunjung agar memberi mereka makanan sekedarnya. Dikawasan ini terdapat dua pulau, Pulau Pisang Ketek (kecil) dan Pulau Pisang Gadang (besar). Pada saat air surut, Pulau Pisang Kecil dapat dicapai dengan jalan kaki, karena air masih setingi lutut.
  5. Pantai Tiku. Pasir putih, ombak dan semilir angin, adalah keunikan pantai Tiku. Tidak banyak pilihan aktifitas acara dapat dilakukan disini, kecuali bersantai menikmati anugerah tuhan di Bumi Sumatera Barat. Pantai ini menawarkan kedamaian dan ketenagan bial anda tidak ingin terusik hingar bingarnya perkotaan. Kedamaian inilah yang mebuat pantai Tiku masuk dalam 5 besar pantai di Sumatera Barat.

Sunday, January 6, 2008

UPBM, Martir Minang yang Bukan Minang

Suatu hari, di meja redaksi sebuah majalah bergenre Minangkabau, datang sepucuk surat. Dari kop surat tersebut, terlihat jelas bahwa si pengirim adalah sebuah organisasi mahasiswa dari Universitas Padjadjaran – Bandung yang menamakan dirinya Unit Pencinta Budaya Minangkabau (UPBM).

Setelah dibaca, ternyata surat tersebut menyampaikan keberatan organisasi ini atas statements dari artikel majalah ini yang dimuat pada edisi lalu, karena mencantumkan UPBM sebgai salah satu unit organisasi mahasiswa Minang yang ada di kampus-kampus perguruan tinggi di Bandung. Sebuah tanda tanya besar muncul di benak redaksi, kalau begitu apa UPBM itu? Bukankah di namanya jelas-jelas di sebutkan Minangkabau sebagai roh gerakannya?

Memang tak banyak yang memahami keberadaan organisasi yang berdiri bulan Oktober 1986 ini. Jangankan pihak luar, kalangan civitas akademika UNPAD pun akan dengan seenaknya menyebutkan UPBM dengan sebutan Unit Padang atau Unit Minang UNPAD. Pun begitu dengan anggota organisasi ini yang masih belia dan masih belum memahami apa sebenarnya UPBM tersebut.

Dalam AD/ART pendiriannya, UPBM sudah menasbihkan diri sebgai unit penalaran budaya, yang mengambil kebudayaan Minangkabau sebagai dasar pijaknya. Meskipun mayoritas founding father dari organisasi ini adalah mahasiswa asal Minang, tapi dengan kesadaran dan nasionalitas tinggi, serta pandangan visi kedepan, mereka tidak merancang UPBM sebagai unit yang bersifat paguyuban atau primordial. UPBM dirancang untuk terbuka terhadap siapa saja yang ingin mengenal dan mempelajari secara bersama-sama kebudayaan Minangkabau.

Dari kacamata UNPAD sendiri, UPBM merupakan salah satu bukti keragaman UNPAD dan menampik pameo yang beredar bahwa UNPAD hanya untuk Pasundan. Dengan membentuk UPBM, UNPAD ternyata telah membuktikan dirinya bahwa perguruan tinggi ini adalah institusi terbuka dan moderat.

Sebagai unit Penalaran Budaya yang mengupas Minangkabau sebagai roh dari setiap pengkajiannya, UPBM mencoba mengadaptasi nilai-nilai demokratis adat Minangkabau dalam kehidupan berorganisasi. Prinsip kkeluargaan dalam bergaul, dan mengedepankan Profesionalitas dalam setiap urusan organisasi. Suatu kombinasi yang unik yang menjadi UPBM berbeda dengan unit kegiatan lainnya di UNPAD, dan unit berbasis Minangkabau lainnya di Bandung.

Struktur kepengurusan mengadaptasi prinsip tungku tigo sajarangan, dimana fungsi Ninik Mamak (fungsi eksekutif) dipegang oleh Ketua dan jajaran pengurusnya, fungsi Alim Ulama (Judikatif) dipegang oleh Badan Musyawarah Angota, dan fungsi Cadiak Pandai (Legislatif) dipegang oleh Badan Musyawah Anggota yang diadakan setiap tahun.

Dalam setiap kegiatan, UPBM selalu mengedepankan kepentingan kaderisasi dengan penggemblengan proses berpikir dan kemampuan berwacana. Prinsip ini juga diambil dari kebiasaan masyarakat Minang yang selalu mencari kata mufakat dalam setiap penyelesaian masalah dan gemar melakukan diskusus dalamkehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Minang tempo dulu, Lapau selalu menjadi sentral diskursus dimana banyak ide-ide cemerlang yang muncul dari dialektika khas lokal Minang. Dialektika dan Diskursus inilah yang menjadi acuan dasar kedarisasi UPBM. Anggota UPBM di latih untuk dewasa dalam berpendapat. Basilang kayu ma hiduik, artinya peredaan pendapat adalah kunci menemukan titik terang dan ide yang lebih bernas. Perlu dicatat, setiap rapat ataupun pembicaraan resmi UPBM selalu dibawakan dengan bahasa Indonesia. Hal ini merupakan komitmen dari keterbukaan unit ini terhadap mahasiswa non minang yang ingin ikut bergabung di UPBM.

Salah satu ejawantah dari Penalaran Budaya UPBM adalah kegiatan pengkajian kesenian. Minangkabau yang kaya akan seni dan tradisi seolah-olah tak pernah habis untuk digali dan dipelajari. Keunikan UPBM dalam hal ini adalah, UPBM menjadikan kegiatan kesenian ini sebagai wadah pembentukan mental dan semakin memahami nilai-nilai adat Minang. Sehingga diharapkan anggota tidak hanya bisa dan trampil memainkan atau membawakan seni tradisi seperti tarian, musik, randai dan sebagainya, akan tetapi juga memahami apa yang dipelajari tersebut. Ini cukup berat, mengingat ketiadaan nara sumber dan keterbatasan waktu.

Hampir setiap pendaftaran anggota baru, 40% pendaftar adalah mahasiwa bukan Minang dan bukan dari Sumatera Barat. Ini menunjukkan bahwa UPBM memang tidak diperuntukkan untuk Organisasi yang bersifat paguyuban atau pun primordial.

Akan tetapi, kecendrungan seperti ini hampir ada tiap tahunnya, dan rata-rata mahasiswa Minang sendirilah yang ingin membelokkan UPBM kearah kedaerahan yang sempit. Tentu ini tidak sesuai dengan visi awal pendirian organisasi ini.

Meskipun UPBM bukan sebuah unit kedaerah khusus Minang, akan tetapi, anggota UPBM diperkenankan mengembangkan kemampuan organisasi mereka di luar UPBM, bahkan di luar UNPAD.

Anggota UPBM tidak diharapkan menjadi manusia-manusia yang “bagak kandang”. Mengadopsi tradisi merantau di Minangkabau, setelah mendapat bekal yang cukup, anggota UPBM diharapkan berkiprah di luar UPBM, di organisasi kemahasiswaa maupun sosil kemasyarakatan di dalam atau diluar UNPAD dengan tetap menjalin komunikasi dengan Motherlandnya (UPBM).

Ketika kader-kader tersebut pulang dari perantauannya, membawa ilmu baru dan penalaman baru, yang kemudian akan di curahkan dalam Palanta UPBM. Sharing ilmu dan pengalaman, baik dengan kader yang senior maupun baru tentu akan semakin memperkaya khasanah berpikir dan wawasan anggota. Disitulah kunci utama organisasi UPBM. Tradisi inilah yang dipertahankan secara turun temurun selama leih kurang 20 tahun umur Unit ini.

Hasilnya, untuk lingkungan UNPAD, UPBM selalu menjadi centre of excellent dimana banyak anggota dan kader-kadernya yang kemudian aktif di Orgnanisasi kemahasiswaan lainnya di UNPAD, yang kemudian mendapat posisi penting bahkan dipercaya menjadi tampuk pimpinan di Organisasi tersebut. Beberapa kader UPBM pernah menjabat ketua Senat Fakultas dan Ketua Senat Universitas pada masanya. Mereka adalah kader-kader yang di awal karir organisasinya digembleng di Lapau Palanta UPBM.

Diluar UNPAD, anggota UPBM secara personal, turut aktif meramaikan kegiatan silahturahmi mahasiswa Minang se Bandung raya, atau kegiatan-kegiatan besar yang digelar oleh Persatuan Keluarga Minang. UPBM secara organisasi pun menjadikan Unit Mahasiswa Minang di Perguruan Tinggi, dan Organisasi berbasis Minang lainnya sebagai rekan dan mitra. Namun kembali ditegaskan disini, UPBM sendiri bukanlah unit Minang, akan tetapi Unit Kegiatan Mahasiswa yang Mencintai Minangkabau.

Antara Laskar Pelangi, The Secret dan Law of Attraction; DARE TO DREAM

Akhir-akhir ini tiba-tiba saja ghirah membaca ku kembali menyala setelah hampir tiga tahun meredup dikalahkan rutinitas pekerjaan. Target satu buku dalam satu bulan yang pernah aku canangkan dalam sanubariku disaksikan dinding kamar kos dan dua buah kaligrafi bertuliskan Allah dan Rasulnya, Muhammad SAW, sudah lama tak bisa aku tepati lagi.

Memang, aku masih menyempatkan membeli paling tidak satu buah buku tiap bulan, atau kadang 2 bulan sekali. Tapi buku tersebut kemudian kususun rapi di rak buku yang sengaja kubeli dan kemudian diam tak tersentuh. Hanya partikel debu yang kemudian bercampur senyawa H2O yang menghuni sampul-sampul buku tersebut.

Tapi tidak untuk kali ini. Pada awalnya karena kejengkelan ku selalu dicekoki oleh salah seorang petinggi di kantor yang senantiasa berceloteh tentang buku yang baru dibacanya. Buku yang membuat matanya terbuka lagi untuk tetap semangat, akunya. Buku itu berjudul “The Secret” karangan Rhonda Byrne. Karena penasaran, aku segera membawa “Meri”, kekasih setia ku di Pulau Dewata ini ke toko Buku. Setelah menitipkan Meri di parkiran, dengan santai dan gontai plus sandal jepit kesayanganku aku menemukan buku bersampul coklat tua yang di desain ala Abad Pertengahan. Menarik, pikirku.

(Oh yah, sebelum dilanjutkan, demi menepis gosip yang tidak-tidak, perlu kujelaskan disini bahwa kekasihku Meri itu tak lain dari sebuah benda broda dua, buatan jepang dengan merk seperti sayap dengan inisial H alis Sepeda Motor Bebek merk Honda Supra X CW yang kubeli dengan pinjaman koperasi tahun 2006 silam. Kunamakan meri sesuai dengan warnanya, Merah Itam Manis…(ciri-ciri lelaki jomblo kumpulsif yang gagal bercinta namun sangat mengidamkan wanita…hahahahaa). Oh ya, aku masih punya satu lagi kekasih yang jarang kuajak jalan-jalan, paling di hari libur atau pada waktu mood ku sedang bagus untuk mengurangi tonjolan indah disekitar pinggan dan perut, namanya BELINDA. Lain kali saja kuceritakan kisah sicantik yang satu ini.;)

Lanjut…!!!

Sayang, baru setengah dari buku itu sempatku baca. Namun paling tidak aku sudah bisa menarik beberapa resep jitu yang dibeberkan dalam buku itu agar sukses dalam kehidupan. Dan bagiku sebenarnya itu bukan hal yang baru. Pak Syafrizal Ghazali, guru mengajiku di Mesjid Quwwatul Ummah, mesjid yang berada dikomplek perumahan sederhana di sudut pinggiran kota Padang, beliau telah mengajari nilai ke-Islam-an dan ke-Minangkabau-an yang pada intinya sama dengan buku ini. Berdo’a dan Berbaik sangkalah pada Allah.

Dua petuah bijak yang masih ku ingat sampai saat ini. Tidak hanya pak Syaf, akan tetapi juga Buya Salmadanis guru Silatku , Anduang Tinun adik perempuan nenek buyutku yang jug aperempuan paling sepuh di dalam klan matrilineal kami, Apa, Ibuk , Ni Rina, bahkan sahabatku di bangku kuliah, Roni Siregar yang rela melepas jabatannya di perusahaan asuransi terkemuka di kota Bandung dan hijrah ke Depok menjadi guru bahasa Inggris demi idealismenya menentang praktik riba, juga berpesan tentang hal yang sama. Berdo’a dan Husnudzon.

Yah, untuk sementara The Secret aku tinggalkan dulu. Buku itu menarik, hanya saja aku merasa dalam buku tersebut tidak ada lagi hal yang dapat menggelitik rasa penasaranku untuk terus membacanya.

Perhatianku beralih pada sebuah buku cerita tentang kehidupan seorang anak Melayu di Pulau yang dulu terkenal karena kaya akan kandungan timah, Belitung. Awalnya aku membaca buku ini karena buku ini sudah dibaca tuntas oleh salah seorang kawan sekantor. Biasanya Laki-laki beranak dua itu tidak terlalu tertarik dengan cerita-cerita yang sampulnya saja seperti buku cerita anak-anak atau paling tidak seperti buku-buku renungannya Gede Prama. Setahuku ia lebih tertarik dengan buku-buku eksentrik sekelas Jakarta Undercover 1 dan 2 yang jadi buku panduannya kalau ke Jakarta (ops….hehehhe). Atau buku tentang Mushashi, karena mungkin ia terobsesi dengan jagoan pedang dari negeri Jepang itu.

Laskar Pelangi, buku pertama dari tetralogi Andrea Hirata, Melayu dari Pedalaman Belitong pertama yang menjadi pakar Ekonomi Mikro, itulah judul buku bersampul ungu dan pink tersebut. Firasat pertama ku mungkin karena buku ini bersetting di tanah Belitung, satu propinsi dengan Bangka tempat kawanku itu dulu bekerja, itulah sebabnya dia melahap habis buku ini.

Tapi dugaanku salah. Gaya bertutur Andrea Hirata yang ringan dengan disana-sini dibumbui konsep dan teori ilmiah (hmm…ahli sastra menyebut ini sebagai Gaya Sastra Saintifik) membuatku larut juga dalam cerita buku. Memang, seperti anak Melayu, umumnya, baik di Belitung, maupun di Minangkabau (kami termasuk rumpun melayu Madya, meskipun kami tidak suka disebut Melayu), tradisi dan permainan dalam buku tersebut sangat dekat dengan masa laluku sendiri.

Meskipun agak terbata-bata, buku pertama dari Tetralogi tersebut berhasil kutamatkan dalam waktu 2 minggu. Setengahnya memakan waktu 13 hari 22 jam, dan sisa nya hanya 2 jam, khatam ku baca dalam perjalanan pewasat dari Denpasar ke Jakarta.

Mungkin baru buku inilah yang membuatku tertawa dan menangis sendiri. Disamping itu, aku tidak perlu megerinyitkan dahiku untuk memahami apa maksud dan alur cerita dari buku tersebut, karena bahasanya mengalir bak air sungai Batang Anai. Jernih mengalir sampai ke muara dan bersatu dengan birunya samudera Hindia. Aku tidak perlu mereka-reka dan membuncah ranah semiotika seperti aku membaca cerpennya AA Navis, Gus TF Sakai, atau Novelnya Dee Lestari.

Kemudian, sesuai urutannya aku mulai melahap bagian kedua dari tetralogi tersebut, berjudul ”Sang Pemimpi”. Setelah berhasil mendapatkannya di toko Buku kota Denpasar yang waktu itu sedang bermandikan hujan bersama kekasih tercintaku yang setia, Meri, satu persatu kalimat-kalimat yang dirangkai Andrea kucerna di kepalaku. Masih dengan gaya bahasa yang mengalir, cerita satir dan mengharukan berhasil kurekam. Dan Hirata berhasil membuat mataku berkaca-kaca pada bagian dimana Ikal (Hirata sendiri) dan saudara sepupunya Arai berpisah dengan Ibu, Ayah, Bu Muslimah dan lain-lain. Bagian yang paling kuingat adalah saat Jimbron menyerahkan dua buah celengan kuda, yang berisi hasil cucur keringat nya menjadi kuli di dermaga kota Magai-Belitung. Itulah persahabatan, lebih murni dari cinta sorang kekasih karena tulus tanpa berharap imbal balik dan tidak berkesudahan.

Akhir dari cerita ”Sang Pemimpi” ini tiba-tiba mengingatkanku pada buku pertama yang kubaca di penghujung tahun 2007 lalu, the Secret. Kalau pada buku karangan Wanita Bule yang hidup penuh kemapanan itu disebutkan bahwa hukum tarik-menarik (Low of Attraction) yang membuat mimpi kita menjadi nyata. Maka di dua buku tetralogi Hirata aku menemukan wujud nyata dari hukum imajiner tersebut. Teruslah bermimpi !!!

Kembali aku teringat pesan guru-guru mengajiku, ”Jan Lupo sumbayang yuang, bado’a bakeh Tuhan Allah, itulah kekuatan kito urang Islam nan indak ado bandiangannyo di duya ko...Insyaallah, Allah pasti ka mangabua an do’a kito jo caro nan indak pernah kito sangko (artinya kira-kira begini; Jangan lupa sholat wahai Buyung, berdo’alah pada Tuhan Allah, itulah kekuatan kita orang islam yang tiada bandingannya di dunia ini. Insyaallah, Allah pasti akan mengabulkan do’a kita dengan cara yang tidak pernah kita duga )

Oh ya, ada satu lagi buku yang bahkan belum kubuka, rekomendasi Kang Rahmat, rekan kerjaku, bertajuk ”Law of Attraction”, karangan Michael J Losier. Tapi aku reka-reka isinya kurang lebih sama dengan The Secret nya Rhonda. Jadi aku memutuskan menunda dulu melahap rangkaian kalimat buku tersebut, dan memusatkan perhatian pada tetralogi Laskar Pelangi ini, karena masih ada 2 lagi buku yang aku wajib selesaikan, Edensor dan Maryamah karpov yang katanya baru sampai Denpasar di akhir Januari ini.

Setelah serangkaian euforia membaca ini, aku sampai pada kesimpulan yang sudah ku buktikan sendiri bahwa cita-cita, mimpi dan do’a adalah kekuatan tersebesar manusia. Manusia tanpa cita-cita, mimpi dan tentu saja do’a, sama dengan harimau tanpa taring dan kuku. Hidupnya ibarat sampan tak bercadik di tengah lautan maha luas, tak tahu tujuan dan arah dalam hidup.

Tiga hari aku menamatkan buku kedua Hirata. Dihalaman terakhir, beberapa detik setelah kalimat terakhir di buku itu selesai kubaca, segera kukirim sms singkat kepada Kawanku, yang mengenalkanku pada tetralogi ini, ” Finished with Sang Pemimpi, Lesson; Dare to dream coz dreaming is the most powerfull human power..”

(Denpasar, 5 Januari 2008)