Sunday, January 6, 2008

Antara Laskar Pelangi, The Secret dan Law of Attraction; DARE TO DREAM

Akhir-akhir ini tiba-tiba saja ghirah membaca ku kembali menyala setelah hampir tiga tahun meredup dikalahkan rutinitas pekerjaan. Target satu buku dalam satu bulan yang pernah aku canangkan dalam sanubariku disaksikan dinding kamar kos dan dua buah kaligrafi bertuliskan Allah dan Rasulnya, Muhammad SAW, sudah lama tak bisa aku tepati lagi.

Memang, aku masih menyempatkan membeli paling tidak satu buah buku tiap bulan, atau kadang 2 bulan sekali. Tapi buku tersebut kemudian kususun rapi di rak buku yang sengaja kubeli dan kemudian diam tak tersentuh. Hanya partikel debu yang kemudian bercampur senyawa H2O yang menghuni sampul-sampul buku tersebut.

Tapi tidak untuk kali ini. Pada awalnya karena kejengkelan ku selalu dicekoki oleh salah seorang petinggi di kantor yang senantiasa berceloteh tentang buku yang baru dibacanya. Buku yang membuat matanya terbuka lagi untuk tetap semangat, akunya. Buku itu berjudul “The Secret” karangan Rhonda Byrne. Karena penasaran, aku segera membawa “Meri”, kekasih setia ku di Pulau Dewata ini ke toko Buku. Setelah menitipkan Meri di parkiran, dengan santai dan gontai plus sandal jepit kesayanganku aku menemukan buku bersampul coklat tua yang di desain ala Abad Pertengahan. Menarik, pikirku.

(Oh yah, sebelum dilanjutkan, demi menepis gosip yang tidak-tidak, perlu kujelaskan disini bahwa kekasihku Meri itu tak lain dari sebuah benda broda dua, buatan jepang dengan merk seperti sayap dengan inisial H alis Sepeda Motor Bebek merk Honda Supra X CW yang kubeli dengan pinjaman koperasi tahun 2006 silam. Kunamakan meri sesuai dengan warnanya, Merah Itam Manis…(ciri-ciri lelaki jomblo kumpulsif yang gagal bercinta namun sangat mengidamkan wanita…hahahahaa). Oh ya, aku masih punya satu lagi kekasih yang jarang kuajak jalan-jalan, paling di hari libur atau pada waktu mood ku sedang bagus untuk mengurangi tonjolan indah disekitar pinggan dan perut, namanya BELINDA. Lain kali saja kuceritakan kisah sicantik yang satu ini.;)

Lanjut…!!!

Sayang, baru setengah dari buku itu sempatku baca. Namun paling tidak aku sudah bisa menarik beberapa resep jitu yang dibeberkan dalam buku itu agar sukses dalam kehidupan. Dan bagiku sebenarnya itu bukan hal yang baru. Pak Syafrizal Ghazali, guru mengajiku di Mesjid Quwwatul Ummah, mesjid yang berada dikomplek perumahan sederhana di sudut pinggiran kota Padang, beliau telah mengajari nilai ke-Islam-an dan ke-Minangkabau-an yang pada intinya sama dengan buku ini. Berdo’a dan Berbaik sangkalah pada Allah.

Dua petuah bijak yang masih ku ingat sampai saat ini. Tidak hanya pak Syaf, akan tetapi juga Buya Salmadanis guru Silatku , Anduang Tinun adik perempuan nenek buyutku yang jug aperempuan paling sepuh di dalam klan matrilineal kami, Apa, Ibuk , Ni Rina, bahkan sahabatku di bangku kuliah, Roni Siregar yang rela melepas jabatannya di perusahaan asuransi terkemuka di kota Bandung dan hijrah ke Depok menjadi guru bahasa Inggris demi idealismenya menentang praktik riba, juga berpesan tentang hal yang sama. Berdo’a dan Husnudzon.

Yah, untuk sementara The Secret aku tinggalkan dulu. Buku itu menarik, hanya saja aku merasa dalam buku tersebut tidak ada lagi hal yang dapat menggelitik rasa penasaranku untuk terus membacanya.

Perhatianku beralih pada sebuah buku cerita tentang kehidupan seorang anak Melayu di Pulau yang dulu terkenal karena kaya akan kandungan timah, Belitung. Awalnya aku membaca buku ini karena buku ini sudah dibaca tuntas oleh salah seorang kawan sekantor. Biasanya Laki-laki beranak dua itu tidak terlalu tertarik dengan cerita-cerita yang sampulnya saja seperti buku cerita anak-anak atau paling tidak seperti buku-buku renungannya Gede Prama. Setahuku ia lebih tertarik dengan buku-buku eksentrik sekelas Jakarta Undercover 1 dan 2 yang jadi buku panduannya kalau ke Jakarta (ops….hehehhe). Atau buku tentang Mushashi, karena mungkin ia terobsesi dengan jagoan pedang dari negeri Jepang itu.

Laskar Pelangi, buku pertama dari tetralogi Andrea Hirata, Melayu dari Pedalaman Belitong pertama yang menjadi pakar Ekonomi Mikro, itulah judul buku bersampul ungu dan pink tersebut. Firasat pertama ku mungkin karena buku ini bersetting di tanah Belitung, satu propinsi dengan Bangka tempat kawanku itu dulu bekerja, itulah sebabnya dia melahap habis buku ini.

Tapi dugaanku salah. Gaya bertutur Andrea Hirata yang ringan dengan disana-sini dibumbui konsep dan teori ilmiah (hmm…ahli sastra menyebut ini sebagai Gaya Sastra Saintifik) membuatku larut juga dalam cerita buku. Memang, seperti anak Melayu, umumnya, baik di Belitung, maupun di Minangkabau (kami termasuk rumpun melayu Madya, meskipun kami tidak suka disebut Melayu), tradisi dan permainan dalam buku tersebut sangat dekat dengan masa laluku sendiri.

Meskipun agak terbata-bata, buku pertama dari Tetralogi tersebut berhasil kutamatkan dalam waktu 2 minggu. Setengahnya memakan waktu 13 hari 22 jam, dan sisa nya hanya 2 jam, khatam ku baca dalam perjalanan pewasat dari Denpasar ke Jakarta.

Mungkin baru buku inilah yang membuatku tertawa dan menangis sendiri. Disamping itu, aku tidak perlu megerinyitkan dahiku untuk memahami apa maksud dan alur cerita dari buku tersebut, karena bahasanya mengalir bak air sungai Batang Anai. Jernih mengalir sampai ke muara dan bersatu dengan birunya samudera Hindia. Aku tidak perlu mereka-reka dan membuncah ranah semiotika seperti aku membaca cerpennya AA Navis, Gus TF Sakai, atau Novelnya Dee Lestari.

Kemudian, sesuai urutannya aku mulai melahap bagian kedua dari tetralogi tersebut, berjudul ”Sang Pemimpi”. Setelah berhasil mendapatkannya di toko Buku kota Denpasar yang waktu itu sedang bermandikan hujan bersama kekasih tercintaku yang setia, Meri, satu persatu kalimat-kalimat yang dirangkai Andrea kucerna di kepalaku. Masih dengan gaya bahasa yang mengalir, cerita satir dan mengharukan berhasil kurekam. Dan Hirata berhasil membuat mataku berkaca-kaca pada bagian dimana Ikal (Hirata sendiri) dan saudara sepupunya Arai berpisah dengan Ibu, Ayah, Bu Muslimah dan lain-lain. Bagian yang paling kuingat adalah saat Jimbron menyerahkan dua buah celengan kuda, yang berisi hasil cucur keringat nya menjadi kuli di dermaga kota Magai-Belitung. Itulah persahabatan, lebih murni dari cinta sorang kekasih karena tulus tanpa berharap imbal balik dan tidak berkesudahan.

Akhir dari cerita ”Sang Pemimpi” ini tiba-tiba mengingatkanku pada buku pertama yang kubaca di penghujung tahun 2007 lalu, the Secret. Kalau pada buku karangan Wanita Bule yang hidup penuh kemapanan itu disebutkan bahwa hukum tarik-menarik (Low of Attraction) yang membuat mimpi kita menjadi nyata. Maka di dua buku tetralogi Hirata aku menemukan wujud nyata dari hukum imajiner tersebut. Teruslah bermimpi !!!

Kembali aku teringat pesan guru-guru mengajiku, ”Jan Lupo sumbayang yuang, bado’a bakeh Tuhan Allah, itulah kekuatan kito urang Islam nan indak ado bandiangannyo di duya ko...Insyaallah, Allah pasti ka mangabua an do’a kito jo caro nan indak pernah kito sangko (artinya kira-kira begini; Jangan lupa sholat wahai Buyung, berdo’alah pada Tuhan Allah, itulah kekuatan kita orang islam yang tiada bandingannya di dunia ini. Insyaallah, Allah pasti akan mengabulkan do’a kita dengan cara yang tidak pernah kita duga )

Oh ya, ada satu lagi buku yang bahkan belum kubuka, rekomendasi Kang Rahmat, rekan kerjaku, bertajuk ”Law of Attraction”, karangan Michael J Losier. Tapi aku reka-reka isinya kurang lebih sama dengan The Secret nya Rhonda. Jadi aku memutuskan menunda dulu melahap rangkaian kalimat buku tersebut, dan memusatkan perhatian pada tetralogi Laskar Pelangi ini, karena masih ada 2 lagi buku yang aku wajib selesaikan, Edensor dan Maryamah karpov yang katanya baru sampai Denpasar di akhir Januari ini.

Setelah serangkaian euforia membaca ini, aku sampai pada kesimpulan yang sudah ku buktikan sendiri bahwa cita-cita, mimpi dan do’a adalah kekuatan tersebesar manusia. Manusia tanpa cita-cita, mimpi dan tentu saja do’a, sama dengan harimau tanpa taring dan kuku. Hidupnya ibarat sampan tak bercadik di tengah lautan maha luas, tak tahu tujuan dan arah dalam hidup.

Tiga hari aku menamatkan buku kedua Hirata. Dihalaman terakhir, beberapa detik setelah kalimat terakhir di buku itu selesai kubaca, segera kukirim sms singkat kepada Kawanku, yang mengenalkanku pada tetralogi ini, ” Finished with Sang Pemimpi, Lesson; Dare to dream coz dreaming is the most powerfull human power..”

(Denpasar, 5 Januari 2008)

3 comments:

Intermedia Network said...

Wah, apa kabar Bot Sosani. Salam hangat dari Bandung. Eh ngomong-ngomong pasti penasaran kan dengan Edensor dan Maryamah Karpov? Andrea membuktikan bahwa apapun impian kita, suatu saat akan jadi kenyataan. Andrea pantas mendapatkannya!

Blog nya saya link ke blog saya ya :)

Salam

Nilna
http://pustakaNilna.com

botsosani said...

Kabar baik Uda Nilna. Tks atas commnetnya. Edensor sudah selesai saya baca, sekarang menunggu buku terakhir, Maryamah karpov, belum masuk ke Bali, ga tau di jakarta udah ada apa belum dipasaran

salam
Bot S Piliang

mattea said...

Bot, rekan kerjaku, sosok yang bisa diandalkan, sudah seperti sodara sendiri,walaupun dihina dina, tetep tegar...
Pernah denger ini g Bot " Apa yang terjadi pada kita sekarang adalah apa yang kita impikan dulu"
Itulah kekuatan mimpi, yang ingin disampaikan oleh Andrea Hirata.
Jadi bermimpilah tentang segala hal, karier ataupun jodoh, tanpa kau sadari ada belahan hatimu menunggu disana..dan selalu menunggu..........